Sunday 12 July 2015

Uber: Mendefinisikan Pasar Bersangkutan (Relevant Market), Masihkah Relevan? (Seri II)



Bermula dari kesulitan untuk menempatkan Uber dalam kerangka regulasi Indonesia, saya ingin mengajak pembaca untuk merenung sejenak, bagaimana hukum persaingan Indonesia memandang model bisnis baru seperti. Dari sudut pandang hukum persaingan, lazimnya analisis berangkat dari apa yang disebut dengan pasar bersangkutan (relevant market), karena analisis hanya dapat dilakukan dalam suatu pasar yang tertentu. Praktisnya, dari sini akan dapat dikenali siapa yang menjadi pesaing, seberapa kekuatan pasar baik pelaku usaha yang dipersoalkan maupun pesaingnya, adakah hambatan masuk ke pasar, jika ada, apakah hambatan tersebut ditimbulkan oleh regulasi, struktur pasar, perbuatan pelaku usaha, ataukah sebab lainnya. Pertanyaan sederhananya, benarkah Uber beroperasi di pasar taxi Indonesia ataukah pelaku usaha ini beroperasi dalam pasar yang berbeda, pasar online platform yang menawarkan produk jasa?

Inovasi: Pemain Baru, Produk (Teknologi) Baru, Model Bisnis Baru

Inovasi membawa banyak hal baru, bukan hanya produk baru dalam bentuk teknologi yang diperkenalkan dalam pasar, melainkan juga jenis model bisnis yang sebelumnya tidak dikenal atau dikenal dengan bentuk yang berbeda. Implikasinya bukan hanya muncul pemain baru, melainkan juga dapat terjadi bahwa inovasi memunculkan substitusi baru dari produk yang sudah ada atau bahkan melahirkan pasar yang sebelumnya tidak ada (disruptive innovation).

Bagaimana dengan Uber? Jika diperhatikan, bisnis Uber seperti mengikuti trend bisnis yang sama dengan online platform lain yang juga menawarkan jasa, yang satu ini jasa akomodasi: Airbnb. Ide bisnis kedua online platform ini bukan hanya mengambil peran penghubung antara konsumen dengan pelaku usaha untuk masing-masing produk yang ditawarkannya, yang satu melayani jasa transportasi, yang lain melayani jasa akomodasi. Lebih dari itu, jika diamati, keduanya berusaha untuk mengoptimalkan fungsi dari barang yang dimiliki untuk menghasilkan kegunaan berupa jasa bagi konsumen dan nilai ekonomis bagi pemiliknya. Yang satu barang yang digunakan berupa kamar, apartemen, atau rumah, yang lain berupa kendaraan roda empat. Inilah implementasi dari apa yang disebut sebagai „sharing economy“ dan belakangan ini memunculkan tantangan besar untuk pembuat regulasi, sama seperti yang terjadi dengan munculnya Uber di Indonesia (dan banyak negara lain). (Baca juga tulisan dalam the Economist tahun 2013 tentang bangkitnya sharing economy.)

Di Indonesia, model bisnis serupa Uber dalam bidang transportasi juga digunakan oleh pelaku usaha lain seperti GrabTaxi untuk angkutan orang dengan mobil atau GrabBike dan Go-Jek untuk angkutan orang dan barang (dari pengantaran dokumen hingga belanja) dengan motor. Kedua pelaku usaha yang terakhir ini masih menuai resistensi dari ojek (taxi dengan kendaraan roda dua) konvensional di beberapa tempat karena dianggap merebut pasar mereka. Namun berbeda dengan tanggapan terhadap Uber, Pemerintah tidak menunjukkan keberatan atas beroperasinya model transportasi alternatif ini. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, justru mendukung keberadaan Go-Jek karena dipandang menjawab kebutuhan masyarakat akan transportasi dan tidak ada regulasi yang menentang beroperasinya Go-Jek.

Sementara itu, lain Uber, lain pula GrabTaxi. Jika Uber mengandalkan mobil pribadi untuk operasinya, GrabTaxi menghubungkan taxi konvensional yang sudah ada di pasar dengan konsumen. Dengan cara ini memang GrabTaxi tidak mengundang kontroversi seperti Uber, karena tidak ada persoalan mengenai apakah yang beroperasi di pasar dapat dikategorikan sebagai taxi gelap atau tidak (karena menggunakan mobil pribadi dan mobil yang bersangkutan tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai taxi sebagaimana layaknya taxi konvensional).

Mendefinisikan Pasar Bersangkutan (Relevant Market)

Apakah Uber merupakan pesaing taxi konvensional, apakah Uber dapat dikatakan beroperasi sebagai taxi? Pertanyaan ini merupakan persoalan relevant market, sejauh mana batas-batas pasar untuk taxi dan Uber ditentukan sehingga dapat menjawab apakah keduanya berada di pasar yang sama.

Relevant market lazimnya dilihat dari tiga perspektif: produk, lokasi geografis, dan waktu. Pasar produk pada dasarnya adalah pasar yang ditentukan berdasarkan produk yang saling bersubstitusi. Pasar produk dapat dilihat dari perspektif penjual atau perspektif pembeli (demand-side product market). Dari perspektif penjual (suply change flexibiity), pasar produk ditentukan berdasarkan tingkat kemudahan penjual untuk beralih ke pembeli lain, misalnya manakala pembeli menerapkan trading terms yang memberatkan penjual, ia dapat memilih untuk berpindah ke pembeli lain yang menerapkan trading terms yang kompetitif.[1] [2]

Apakah Uber merupakan substitusi taxi konvensional? Pertanyaan ini memerlukan riset pasar untuk dapat dijawab dengan sahih. Yang perlu dilihat dalam riset pasar tersebut adalah apakah konsumen memandang Uber sebagai substitusi taxi konvensional dan bahkan dapat diperluas lagi, siapa saja yang dapat diperhitungkan sebagai substitusi taxi konvensional, misalnya apakah selain Uber GrabTaxi juga dapat diperhitungkan. Memasukkan GrabTaxi dalam analisis menjadi menarik. Mengapa? Alasannya adalah dari sini akan terlihat bedanya dua jenis jasa yang dipersoalkan, yang sebenarnya menjadi titik pembeda antara Uber dengan taxi konvensional. Jika GrabTaxi akan diperhitungkan sebagai substitusi taxi konvensional padahal taxi yang melayani konsumen adalah taxi yang sama juga (ingat bahwa GrabTaxi menggunakan taxi konvensional yang sudah ada dan tidak mendatangkan pemain baru), maka apakah yang dilihat adalah jasa transportasinya ataukah kemudahan untuk mendapatkan jasa transportasi, dalam hal ini melalui aplikasi online. Dalam konteks Uber, pertanyaannya bisa jadi apakah konsumen lebih memperhitungkan layanan aplikasi online yang ditawarkan oleh Uber sebagai faktor yang paling dicari dalam menentukan jenis layanan transportasi yang akan digunakan, sehingga pilihannya menjadi misalnya Uber vs. GrabTaxi/GrabBike vs. Go-Jek vs. "reservasi online" Blue Bird, dan seterusnya, ataukah semata-mata jasa transportasi umum untuk mengangkut orang dari pintu-pintu.

Dari sisi supplier, yang perlu dilihat pertama-tama adalah siapakah supplier untuk Uber dan siapakah supplier untuk taxi konvensional. Jawabannya bisa jadi tidak semudah yang dibayangkan. Uber menggunakan pemilik kendaraan pribadi berikut sopirnya sebagai supplier. Dalam kasus taxi konvensional, peran ini dimainkan oleh para sopir yang bekerja untuk taxi konvensional dan mobil yang digunakanpun adalah mobil yang dimiliki oleh taxi konvensional bersangkutan. Supply yang dimaksud dengan demikian adalah dalam bentuk mobil dan jasa sebagai sopir. Dengan demikian, perlu dianalisis lebih jauh, apakah kedua tipe supplier yang tidak terpisahkan untuk taxi konvensional ini dapat disetarakan atau dibandingkan satu banding satu dengan supplier untuk Uber. Hanya jika ya, maka barulah dipersoalkan apakah misalnya sopir taxi konvensional akan dapat dengan mudah (tanpa biaya yang berarti) beralih menjadi supplier untuk Uber. Ini mungkin agak sulit, sebab tidak banyak sopir taxi yang juga adalah pemilik kendaraan, kecuali dalam kasus-kasus seperti sopir taxi tertentu yang diberi kesempatan untuk mengangsur mobil yang dikendarainya (yang pada saat itu masih menjadi milik taxi bersangkutan) dan suatu ketika menjadi pemilik dari mobil tersebut. Skenario yang lebih mudah dibayangkan (dan sudah mulai terjadi) adalah beralihnya sopir taxi konvensional menjadi pengendara motor yang menawarkan jasanya melalui Go-Jek, misalnya.

Nah, dari sejumlah pekerjaan yang masih harus dilakukan di atas, apa gunanya menentukan relevant market? Gunanya dari perspektif hukum persaingan adalah untuk menetapkan kerangka analisis. Analisis hukum persaingan hanya dapat dilakukan dalam pasar yang tertentu. Dari sini kemudian dapat dilihat apakah siapa sajakah pelaku usaha yang saling bersaing – jadi dapat ditentukan siapa pesaing, kemudian dapat dianalisis lebih lanjut seberapa kekuatan pelaku usaha tersebut di dalam pasar - misalnya untuk melihat apakah suatu pelaku usaha memiliki posisi dominan, dan kemudian dapat dikaji apakah terdapat perbuatan yang anti kompetitif ataukah tidak. Jadi, dari kacamata hukum persaingan, persoalan relevant market hingga saat ini masih relevan.

Ganti model ataukah ganti peraturan?

Di atas telah disinggung bahwa Uber mengusung bukan hanya teknologi baru melainkan model bisnis baru yang inovatif yang sebelumnya tidak dikenal di pasar atau setidak-tidaknya belum diatur atau belum jelas regulasi mana atau mana sajakah yang berlaku terhadapnya. Fenomena ini mengingatkan pada apa yang disebut dengan disruptive innovation yang dibedakan dari inovasi jenis lain.[3] Karakter spesifik dari disruptive innovation adalah memunculkan kebutuhan baru di dalam masyarakat dan membentuk pasar yang baru, jadi tidak sekedar menggantikan produk atau teknologi yang lama dengan yang baru, sehingga memunculkan pesaing baru di dalam pasar yang sudah ada melainkan menghadirkan pasar yang sama sekali baru dengan pemain yang baru.[4] Apakah Uber merupakan salah satu makhluk yang membawa disruptive innovation ataukah dia hanya membawa inovasi yang menjadikannya pesaing baru dalam pasar yang sudah ada, dalam hal ini pasar jasa angkutan umum untuk orang dari pintu ke pintu, di Indonesia, masih harus dijawab dengan riset pasar seperti yang dijelaskan di atas.

Yang menjadi soal sekarang adalah apakah Uber seyogyanya berganti model termasuk bagaimana menerapkan teknologi yang dibawanya supaya dapat menyesuaikan dengan regulasi yan sudah ada ataukah perlu ada regulasi baru untuk mengcover kemajuan teknologi dan model-model bisnis jenis baru yang sangat mungkin akan terus bermunculan?

Jika kepentingan konsumen menjadi prioritas, maka pelaku usaha tidak seyogyanya dihentikan dari upayanya untuk berinovasi baik dalam hal model bisnis maupun teknologi untuk dapat menawarkan yang paling mudah dan jika mungkin paling murah bagi konsumen (dikatakan jika mungkin, sebab inovasi tidak selalu identik dengan harga rendah). Namun demikian, untuk kepentingan konsumen pula, ada sejumlah persyaratan dalam regulasi yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan perlu untuk dipenuhi pula bahkan manakala regulasinya sendiri dipersoalkan lingkup berlakunya. Persyaratan-persyaratan tersebut dalam hal layanan taxi dan layanan serupa dengan itu misalnya berkaitan standar pelayanan minimal dengan keselamatan dan keamanan.[5] Itu hanya salah satu contoh. Ini mengingatkan bahwa regulasi dibuat untuk suatu tujuan, salah satunya adalah agar terjaminnya perlindungan bagi semua pihak, terutama pihak yang lemah. Konsumen secara individual setidaknya di Indonesia sering menjadi pihak yang lemah ketika harus berhadapan dengan pelaku usaha manakala berurusan dengan keseimbangan hak dan kewajiban. Regulasi berperan untuk memastikan tercapainya keseimbangan tersebut melalui intervensi penegak hukum.

Berkaitan dengan kebijakan persaingan, dua pendekatan yang selama ini digunakan adalah pendekatan ex-ante dan ex-post regulation. Pada pendekatan yang pertama, regulasi dibuat untuk mengintervensi pasar misalnya dengan menentukan siapa sajakah yang dapat menjadi pemain di dalam pasar dan berapa banyak. Ini yang paling sederhana dan juga terlihat dalam regulasi mengenai Angkutan dan Jalan Umum khusus yang berkaitan dengan layanan taxi.[6] Pada pendekatan yang kedua, hukum persaingan lebih banyak berperan dengan menguji apakah suatu perbuatan antikompetitif atau tidak, dan jika ya, apakah melanggar hukum persaingan yang berlaku. Dengan pendekatan ini, diharapkan pasar tidak menjadi terlalu rigid dibatasi dan pelaku usaha lebih leluasa untuk keluar masuk dan berkontribusi di dalam pasar.  Di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 dapat diterapkan sebagai pisau analisis secara ex-poxt terhadap fenomena yang terjadi di dalam pasar jika terdapat kecurigaan telah terjadinya praktik persaingan tidak sehat. Dalam hal Uber, hal inipun masih harus diteliti, sebab persoalan Uber lebih pada kepatuhan terhadap regulasi dan regulasi yang manakah yang harus diterapkan dan bukan pada persoalan praktik persaingan tidak sehat.

Persoalan Uber merupakah persoalan kebijakan yang harus dijawab bukan hanya di Indonesia melainkan juga di banyak negara lain. Namun sebagai awalan, tampaknya perlu untuk dikatakan bahwa tidak ada pelaku usaha manapun yang berdiri di atas regulasi.





[1] Lihat Wahyuningtyas, S.Y. (2011). Unilateral Restraints in the Retail Business: A Comparative Study on Competition Law in Germany and Indonesia”, Stämpfli Publisher, Volume 27 of Munich Series on European and International Antitrust Law, p. 45.
[2] Persoalan trading terms yang memberatkan untuk penjual dapat dilihat dalam kasus Carrefour tahun 2005.
[3] Sebagai contoh, model bisnis multi­-sided market yang sudah lama dikenal di industry surat kabar menjadi semacam model bisnis daur ulang yang menjadi andalah platform online seperti search engine dan social media. Lihat Graef, I., Wahyuningtyas, S., Valcke, P. (2015). Assessing Data Access Issues in Online Platforms, Telecommunications Pollicy, 39(5), p. 376 ff.
[4] Konsep disruptive innovation diperkenalkan dalam J.L. Bower and C.M. Christensen, "Disruptive Technologies: Catching the Wave", Harvard Business Review 1995, vol. 73, no. 1 (January-February), (43) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Christensen dalam C.M. Christensen, The Innovator's Dilemma. When New Technologies Cause Great Firms to Fail, Boston, Massachusetts, Harvard Business School Press, 1997.
[5] Pasal 141 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009.
[6] Lihat blogpost saya sebelumnya pada bagian mengenai ketersediaan jumlah kendaraan di jalan.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.