Sunday 28 June 2015

Uber: Manakala Kebijakan Persaingan Diuji oleh Inovasi (Seri I)


                                                  

Ramai diberitakan di sejumlah media belakangan ini tentang masuknya Uber di pasar layanan jasa transpotasi umum di Indonesia. Seperti di beberapa negara lain, Uber memasuki pasar dengan berbagai kontroversi, bahkan di negara-negara tertentu seperti JermanSpanyol, India, dan Thailand, Uber dilarang untuk beroperasi. Kontroversi kehadiran Uber di Indonesia seperti diberitakan di sejumlah media berkaitan dengan beragam persoalan dari legalitas beroperasinya Uber karena soal izin usaha,  soal keamanan dan keselamatan penumpang, isu perpajakan, hingga persoalan persaingan yang ditimbulkan dengan taxi konvensional yang telah ada di pasar. Pemerintah menghendaki agar Uber memenuhi persyaratan sesuai regulasi yang berlaku untuk dapat beroperasi di Indonesia. Hal yang menarik dari kontroversi Uber adalah persinggungan antara kebijakan persaingan dengan inovasi yang membawa hal-hal yang baru yang tidak diakomodasi sebelumnya dalam regulasi yang sudah ada. Silang sengkarut kehadiran Uber di pasar tanah air akan dikaji dari sisi kebijakan persaingan dalam rangkaian tulisan saya tentang Uber.

Taxi dan Regulasi

Jasa taxi merupakan salah satu industri yang diatur secara ex-ante (ex-ante regulation). Untuk dapat masuk ke pasar dan beroperasi, pelaku usaha dalam industri ini harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Artinya, gerbang pasar (market entrance) telah dibatasi sejak awal dengan regulasi, sehingga tidak setiap orang dapat begitu saja mengoperasikan kendaraannya sebagai taxi dan langsung terlibat dalam persaingan di pasar taxi dengan pelaku usaha yang telah ada (incumbent)

Tujuan regulasi tersebut, namun demikian, bukanlah – atau seyogyanya bukanlah – untuk melindungi pelaku usaha yang sudah ada di dalam pasar dan dengan demikian mencegah masuknya pesaing baru, atau dengan kata lain, membatasi persaingan. Kepentingan konsumen, misalnya, merupakan salah satu agenda penting dari regulasi. Hal ini terwujud antara lain dalam peraturan yang berkaitan dengan kemanan penumpang. Kepentingan penumpang juga diakomodasi dalam pengaturan tarif jasa taxi, terutama tarif batas atas. Tentunya penumpang tidak ingin melakukan tawar menawar harga sebelum naik taxi dan argometer dengan patokan tarif yang jelas menjadi pilihan yang jauh lebih baik. Namun lebih dari itu, penetapan tarif batas atas juga penting untuk menghindarkan pengenaan tarif yang semena-mena. Dalam skala yang lebih luas, kepentingan masyarakat secara umum diakomodasi dengan kewajiban pelaku usaha untuk membayar pajak. Jadi, secara singkat, sebelum dapat beroperasi dan ikut berkompetisi di pasar jasa taxi, pelaku usaha harus terlebih dahulu permisi dan mendapatkan lisensi operasi. Ini yang lazimnya berlaku.

Regulasi Taxi di Indonesia

Di Indonesia, jasa taxi tunduk antara lain pada ketentuan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menengok peraturan-peraturan sebelumnya,[1] pelayanan jasa taxi dikategorisasikan sebagai „kendaraan umum“ berjenis mobil penumpang (untuk dibedakan dari mobil barang) yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer. Tanda khusus tersebut tampak antara lain dalam tanda di atas mobil yang lazimnya memuat tulisan „TAKSI“ dan merek taxi serta dilengkapi dengan lampu yang menandakan apakah taxi tersebut sedang disewa atau tidak. Selain itu, sebagai kendaraan umum, taxi lazimnya berplat kuning sebagaimana kendaraan umum jenis lainnya seperti bus. Layanan jasa taxi juga dibatasi oleh wilayah operasi tertentu, yaitu wilayah administratif kotamadya daerah tingkat II atau wilayah khusus DKI Jakarta (dalam hal ini Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek)). Karakteristik lain dari layanan taxi adalah pelayanannya diberikan dari pintu ke pintu (untuk dibedakan misalnya dengan pelayanan antarhalte seperti bus). Untuk dapat beroperasi, pelaku usaha wajib memiliki izin penyelenggaraan angkutan.[2]

Izin operasional tersebut memiliki fungsi pengawasan atas kualitas layanan taxi yang penting bagi kepentingan konsumen, misalnya penyedia jasa harus menggunakan kendaraan yang layak jalan dan pengemudi harus memenuhi persyaratan tertentu. Oleh karena itu, logis bahwa harus jelas siapa pelaku usaha yang menjadi subyek yang diberi izin usaha dan bertanggung jawab secara hukum apabila terjadi pelanggaran.

Berkaitan dengan pelaku usaha sebagai subyek dari berbagai peraturan mengenai jasa taxi, yang dapat menyediakan jasa taxi adalah: badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) atau badan hukum lain yang ditentukan dengan undang-undang.[3] Dengan demikian, pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha di bidang jasa taxi harus terlebih dahulu membentuk badan hukum, misalnya perseroan terbatas (PT), sebelum dapat mengajukan permohonan izin usaha.

Fungsi lain dari mekanisme izin operasional adalah memungkinkan adanya kendali terhadap ketersediaan jumlah kendaraan di jalan raya dalam wilayah operasional yang bersangkutan.[4] Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan taxi di pasar dengan kapasitas jalan. Yang paling terlihat misalnya jangan sampai terjadi kemacetan karena terlalu banyaknya kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan raya -  suatu persoalan yang sudah sangat akut di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta.

Lebih lanjut izin operasional juga memiliki fungsi untuk ikut mengawal terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh pelaku usaha. Salah satu contoh implementasinya adalah insentif yang diberikan kepada pelaku usaha melalui kemudahan pembayaran dengan sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi.[5]

Untuk melindungi kepentingan konsumen, tarif taxi pun tunduk pada peraturan tertentu. Tarif taxi terdiri atas tarif awal, tarif dasar, tarif jarak, dan tarif waktu. Tarif ini terlihat dalam argometer dan ditentukan oleh perusahaan angkutan umum bersangkutan dengan persetujuan pemerintah.[6] Dalam implementasinya tarif jasa taxi dapat ditentukan oleh pemerintah daerah disesuaikan dengan kemampuan konsumen di daerah yang bersangkutan. KPPU dalam kajiannya tahun 2010 terhadap kebijakan penetapan tarif jasa taxi berpendapat bahwa kebijakan penetapan tarif batas atas dapat menghindarkan konsumen dari pengenaan harga yang terlalu tinggi oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Dalam kajiannya, KPPU merekomendasikan untuk menghapuskan tarif batas bawah karena berpotensi untuk menjadi hambatan bagi pelaku usaha yang dapat menawarkan jasa dengan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, KPPU melarang Organda untuk menetapkan tarif jasa taxi karena praktik ini bertentangan dengan larangan kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Uber, Inovasi, dan Regulasi

Uber sering disebut sebagai taxi. Tapi benarkah Uber menawarkan jasa taxi, sewa mobil, ataukah jasa lainnya? Model bisnis Uber tampaknya tidak sama dengan taxi konvensional ataupun sewa mobil. Dalam beberapa kesempatan, Uber menolak disebut sebagai taxi, melainkan sebagai “platform e-commerce yang menawarkan produk jasa“. Jasa tersebut berupa menghubungkan sopir mobil yang menyewakan kendaraannya dengan calon penumpang melalui aplikasi online.

Tidak sama dengan jasa taxi, kendaraan yang digunakan dalam layanan Uber bukan milik Uber melainkan milik pihak lain. Dengan kata lain, layanan Uber tidak memenuhi pengertian taxi sebagai „pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum“. [7] Sopir dalam layanan Uber juga tidak berada dalam hubungan kerja sebagaimana sopir dengan perusahaan taxi atau sewa mobil. Uber justru dapat disetarakan dengan jasa omprengan yang sudah lama dikenal di Jakarta (meskpun dipersoalkan juga legalitasnya). Seperti Uber, jasa omprengan diberikan oleh pemilik mobil (lazimnya sekaligus sebagai sopir) secara perorangan untuk calon penumpang yang biasanya lebih dari satu orang, umumnya untuk mereka yang memiliki tujuan perjalanan yang sama. Yang dilakukan oleh Uber adalah menawarkan jasa berupa aplikasi yang dapat digunakan untuk menghubungkan sopir dengan calon penumpang.

Tidak sama dengan taxi konvensional, mobil yang digunakan dalam layanan Uber pada prinsipnya adalah mobil pribadi dan tidak memiliki tanda-tanda khusus: digunakannya plat hitam mobil pribadi - bukan plat kuning - dan tidak menggunakan tulisan „TAKSI“, jadi tidak dikenali dari luar sebagai kendaraan yang memberikan layanan angkutan umum.

Kelebihan Uber yang menonjol adalah layanan melalui aplikasinya yang inovatif dan tarifnya yang kompetitif. Tarif yang digunakan tidak mengikuti peraturan mengenai tarif untuk taxi konvensional, melainkan ditentukan sendiri oleh Uber dan selama ini Uber dikenal memberikan harga yang lebih kompetitif daripada taxi konvensional. Namun demikian, kelebihan Uber bukan hanya harga yang lebih murah diukur dari rupiah, melainkan juga dari proses mulai dari pemesanan sampai dengan pembayaran, karena mudahnya aplikasi Uber untuk digunakan. Selain itu, mobil yang digunakan selalu dilengkapi dengan navigasi untuk memudahkan menemukan alamat calon penumpang dan alamat tujuan. Calon penumpang juga dapat melacak keberadaan mobil yang dipesannya dan memperhitungkan berapa waktu yang diperlukan untuk menjemput calon penumpang tersebut.

Metode pembayaran dilakukan tidak secara tunai, melainkan penumpang akan menerima tagihan per email dan pembayaran dilakukkan secara auto debit (di Indonesia dapat digunakan kartu kredit atau debit). Dengan demikian, penumpang tidak perlu risau membawa uang tunai untuk membayar. Sopir tidak akan mendapatkan pembayaran tunai dari penumpang, melainkan akan menerima bagian dari pendapatan dari Uber untuk layanan yang diberikannya. Penumpang juga dapat secara mudah memberikan review atas pelayanan sopir dan kualitas mobil yang digunakan.

Lantas di manakah tempat Uber di dalam kerangka regulasi layanan angkutan umum di Indonesia? Uber rupanya bukan hanya mengandalkan inovasi dalam aspek teknologi melainkan juga dalam bentuk model bisnis yang digunakan. Ketika melakukan pembayaran, pada dasarnya penumpang membayar bukan hanya layanan angkutan yang telah diberikan oleh sopir mobil, melainkan juga jasa mediasi angkutan yang dilakukan oleh Uber. Jasa mediasi inilah yang rupanya menjadi argumentasi Uber untuk tidak mengikuti regulasi yang berlaku untuk angkutan umum penumpang dalam bentuk taxi.

Kebijakan Persaingan

Jenis usaha Uber dari kacamata hukum yang berlaku di Indonesia tampaknya masih memerlukan klarifikasi. Namun demikian, terlepas dari itu Uber telah memasuki pasar yang selama ini secara normatif hanya mengenal jasa angkutan umum yang disediakan dengan kendaraan umum. Dalam praktiknya, Uber berpotensi menjadi pesaing untuk taxi konvensional, sementara keterikatannya pada regulasi yang mengikat layanan taxi masih dipersoalkan.

Inovasi dan harga rendah merupakan dua poin yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan persaingan yang menekankan pada kesejahteraan konsumen. Pada sisi lain, persaingan yang sehat tidak dapat mengabaikan diberikannya perlakuan yang sama, antara lain dari sisi regulasi, untuk semua pelaku usaha yang melakukan kegiatan dalam pasar yang sama. Tulisan ini meninggalkan sejumlah pertanyaan terbuka. Dapatkah Uber tetap beroperasi dengan model bisnis yang sama jika ingin memenuhi semua ketentuan yang berlaku untuk taxi konvensional? Rugikah konsumen jika Uber mengubah model bisnisnya? Dapatkah Uber tetap mengenakan tarif yang sama seperti sekarang jika harus memenuhi semua ketentuan yang berlaku bagi layanan taxi? Ataukah regulasi perlu disesuaikan dengan perkembangan di dalam pasar untuk memberi ruang bagi inovasi demi kepentingan konsumen? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikaji dalam tulisan saya selanjutnya dalam seri tentang Uber. Sampai jumpa!





[1] Peraturan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum dan Peraturan Daerah Propinsi DKI No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Dana serta Penyeberangan di Propinsi DKI.
[2] Pasal 179 UU No. 22 Tahun 2009.
[3] Pasal 139 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009.
[4] Lihat Pasal 152 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009.
[5] Pasal 67 UU No. 22 Tahun 2009.
[6] Pasal 183 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009.
[7] Pasal 1 Angka 10 dan Pasal 151 UU No. 22 Tahun 2009.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.