Ramai diberitakan di sejumlah media belakangan ini tentang
masuknya Uber di pasar layanan jasa transpotasi
umum di Indonesia. Seperti di beberapa negara lain, Uber memasuki pasar dengan
berbagai kontroversi, bahkan di negara-negara tertentu seperti Jerman, Spanyol, India, dan Thailand, Uber dilarang untuk
beroperasi. Kontroversi kehadiran Uber di Indonesia seperti diberitakan di
sejumlah media berkaitan dengan beragam persoalan dari legalitas beroperasinya
Uber karena soal izin usaha,
soal keamanan dan keselamatan
penumpang, isu perpajakan,
hingga persoalan persaingan yang
ditimbulkan dengan taxi konvensional yang telah ada di pasar.
Pemerintah menghendaki agar Uber memenuhi persyaratan sesuai regulasi yang
berlaku untuk dapat beroperasi di Indonesia. Hal yang menarik dari kontroversi
Uber adalah persinggungan antara kebijakan persaingan dengan inovasi yang
membawa hal-hal yang baru yang tidak diakomodasi sebelumnya dalam regulasi yang
sudah ada. Silang sengkarut kehadiran Uber di pasar tanah air akan dikaji dari
sisi kebijakan persaingan dalam rangkaian tulisan saya tentang Uber.
Taxi dan Regulasi
Jasa taxi merupakan salah satu industri yang diatur secara ex-ante
(ex-ante regulation). Untuk dapat masuk ke pasar dan beroperasi, pelaku
usaha dalam industri ini harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Artinya,
gerbang pasar (market entrance) telah dibatasi sejak awal
dengan regulasi, sehingga tidak setiap orang dapat begitu saja mengoperasikan
kendaraannya sebagai taxi dan langsung terlibat dalam persaingan di pasar taxi
dengan pelaku usaha yang telah ada (incumbent).
Tujuan regulasi tersebut, namun demikian, bukanlah – atau
seyogyanya bukanlah – untuk melindungi pelaku usaha yang sudah ada di dalam
pasar dan dengan demikian mencegah masuknya pesaing baru, atau dengan kata
lain, membatasi persaingan. Kepentingan konsumen, misalnya, merupakan salah
satu agenda penting dari regulasi. Hal ini terwujud antara lain dalam peraturan
yang berkaitan dengan kemanan penumpang. Kepentingan penumpang juga
diakomodasi dalam pengaturan tarif jasa taxi, terutama tarif batas atas.
Tentunya penumpang tidak ingin melakukan tawar menawar harga sebelum naik taxi
dan argometer dengan patokan tarif yang jelas menjadi pilihan yang jauh lebih
baik. Namun lebih dari itu, penetapan tarif batas atas juga penting untuk
menghindarkan pengenaan tarif yang semena-mena. Dalam skala yang lebih
luas, kepentingan masyarakat secara umum diakomodasi dengan kewajiban pelaku
usaha untuk membayar pajak. Jadi, secara singkat, sebelum dapat beroperasi dan
ikut berkompetisi di pasar jasa taxi, pelaku usaha harus terlebih dahulu
permisi dan mendapatkan lisensi operasi. Ini yang lazimnya berlaku.
Regulasi Taxi di Indonesia
Di Indonesia, jasa taxi tunduk antara lain pada ketentuan
dalam Undang-undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Menengok peraturan-peraturan sebelumnya,[1]
pelayanan jasa taxi dikategorisasikan sebagai „kendaraan umum“ berjenis
mobil penumpang (untuk dibedakan dari mobil barang) yang diberi tanda khusus
dan dilengkapi dengan argometer. Tanda khusus tersebut tampak antara lain
dalam tanda di atas mobil yang lazimnya memuat tulisan „TAKSI“ dan merek taxi
serta dilengkapi dengan lampu yang menandakan apakah taxi tersebut sedang
disewa atau tidak. Selain itu, sebagai kendaraan umum, taxi lazimnya berplat
kuning sebagaimana kendaraan umum jenis lainnya seperti bus. Layanan jasa taxi
juga dibatasi oleh wilayah operasi tertentu, yaitu wilayah administratif
kotamadya daerah tingkat II atau wilayah khusus DKI Jakarta (dalam hal ini Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek)). Karakteristik lain dari layanan taxi adalah pelayanannya diberikan dari pintu ke
pintu (untuk dibedakan misalnya dengan pelayanan antarhalte seperti bus). Untuk
dapat beroperasi, pelaku usaha wajib memiliki izin penyelenggaraan angkutan.[2]
Izin operasional tersebut memiliki fungsi pengawasan atas
kualitas layanan taxi yang penting bagi kepentingan konsumen, misalnya penyedia
jasa harus menggunakan kendaraan yang layak jalan dan pengemudi harus memenuhi
persyaratan tertentu. Oleh karena itu, logis bahwa harus jelas siapa pelaku
usaha yang menjadi subyek yang diberi izin usaha dan bertanggung jawab secara
hukum apabila terjadi pelanggaran.
Berkaitan dengan pelaku usaha sebagai subyek dari berbagai
peraturan mengenai jasa taxi, yang dapat menyediakan jasa taxi adalah: badan
usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) atau badan hukum lain yang
ditentukan dengan undang-undang.[3] Dengan
demikian, pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha di bidang jasa taxi
harus terlebih dahulu membentuk badan hukum, misalnya perseroan terbatas (PT),
sebelum dapat mengajukan permohonan izin usaha.
Fungsi lain dari mekanisme izin operasional adalah memungkinkan
adanya kendali terhadap ketersediaan jumlah kendaraan di jalan raya dalam
wilayah operasional yang bersangkutan.[4] Hal
ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan taxi di pasar dengan
kapasitas jalan. Yang paling terlihat misalnya jangan sampai terjadi kemacetan
karena terlalu banyaknya kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan raya
- suatu persoalan yang sudah sangat akut di sejumlah kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta.
Lebih lanjut izin operasional juga memiliki fungsi untuk
ikut mengawal terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh pelaku usaha. Salah satu
contoh implementasinya adalah insentif yang diberikan kepada pelaku usaha
melalui kemudahan pembayaran dengan sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi.[5]
Untuk melindungi kepentingan konsumen, tarif taxi pun tunduk
pada peraturan tertentu. Tarif taxi terdiri atas tarif awal, tarif dasar, tarif
jarak, dan tarif waktu. Tarif ini terlihat dalam argometer dan ditentukan oleh perusahaan angkutan
umum bersangkutan dengan persetujuan pemerintah.[6] Dalam
implementasinya tarif jasa taxi dapat ditentukan oleh pemerintah daerah
disesuaikan dengan kemampuan konsumen di daerah yang bersangkutan. KPPU dalam kajiannya tahun 2010 terhadap
kebijakan penetapan tarif jasa taxi berpendapat bahwa kebijakan penetapan tarif
batas atas dapat menghindarkan konsumen dari pengenaan harga yang terlalu
tinggi oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Dalam kajiannya, KPPU
merekomendasikan untuk menghapuskan tarif batas bawah karena berpotensi untuk
menjadi hambatan bagi pelaku usaha yang dapat menawarkan jasa dengan harga yang
lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, KPPU melarang Organda untuk
menetapkan tarif jasa taxi karena praktik ini bertentangan dengan larangan
kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Uber, Inovasi, dan Regulasi
Uber sering disebut sebagai taxi. Tapi benarkah Uber
menawarkan jasa taxi, sewa mobil, ataukah jasa lainnya? Model bisnis Uber
tampaknya tidak sama dengan taxi konvensional ataupun sewa mobil. Dalam
beberapa kesempatan, Uber menolak disebut sebagai taxi, melainkan sebagai “platform e-commerce yang
menawarkan produk jasa“. Jasa tersebut
berupa menghubungkan sopir mobil yang menyewakan kendaraannya dengan calon
penumpang melalui aplikasi online.
Tidak sama dengan jasa taxi, kendaraan yang digunakan dalam
layanan Uber bukan milik Uber melainkan milik pihak lain. Dengan kata lain,
layanan Uber tidak memenuhi pengertian taxi sebagai „pelayanan angkutan orang
dengan kendaraan bermotor umum“. [7]
Sopir dalam layanan Uber juga tidak berada dalam hubungan kerja sebagaimana
sopir dengan perusahaan taxi atau sewa mobil. Uber justru dapat disetarakan
dengan jasa omprengan yang sudah lama dikenal di Jakarta
(meskpun dipersoalkan juga legalitasnya). Seperti Uber, jasa omprengan diberikan
oleh pemilik mobil (lazimnya sekaligus sebagai sopir) secara perorangan untuk
calon penumpang yang biasanya lebih dari satu orang, umumnya untuk mereka yang
memiliki tujuan perjalanan yang sama. Yang dilakukan oleh Uber adalah
menawarkan jasa berupa aplikasi yang dapat digunakan untuk menghubungkan sopir
dengan calon penumpang.
Tidak sama dengan taxi konvensional, mobil yang digunakan
dalam layanan Uber pada prinsipnya adalah mobil pribadi dan tidak memiliki
tanda-tanda khusus: digunakannya plat hitam mobil pribadi - bukan plat kuning -
dan tidak menggunakan tulisan „TAKSI“, jadi tidak dikenali dari luar sebagai
kendaraan yang memberikan layanan angkutan umum.
Kelebihan Uber yang menonjol adalah layanan melalui
aplikasinya yang inovatif dan tarifnya yang kompetitif. Tarif yang digunakan
tidak mengikuti peraturan mengenai tarif untuk taxi konvensional, melainkan
ditentukan sendiri oleh Uber dan selama ini Uber dikenal memberikan harga yang lebih
kompetitif daripada taxi konvensional. Namun
demikian, kelebihan Uber bukan hanya harga yang lebih murah diukur dari rupiah,
melainkan juga dari proses mulai dari pemesanan sampai dengan pembayaran,
karena mudahnya aplikasi Uber untuk digunakan. Selain itu, mobil yang digunakan
selalu dilengkapi dengan navigasi untuk memudahkan menemukan alamat calon
penumpang dan alamat tujuan. Calon penumpang juga dapat melacak keberadaan
mobil yang dipesannya dan memperhitungkan berapa waktu yang diperlukan untuk
menjemput calon penumpang tersebut.
Metode pembayaran dilakukan tidak secara tunai, melainkan
penumpang akan menerima tagihan per email dan pembayaran dilakukkan secara auto
debit (di Indonesia dapat digunakan kartu kredit atau debit). Dengan
demikian, penumpang tidak perlu risau membawa uang tunai untuk membayar. Sopir
tidak akan mendapatkan pembayaran tunai dari penumpang, melainkan akan menerima
bagian dari pendapatan dari Uber untuk layanan yang diberikannya. Penumpang
juga dapat secara mudah memberikan review atas pelayanan sopir dan kualitas
mobil yang digunakan.
Lantas di manakah tempat Uber di dalam kerangka regulasi
layanan angkutan umum di Indonesia? Uber rupanya bukan hanya mengandalkan
inovasi dalam aspek teknologi melainkan juga dalam bentuk model bisnis yang
digunakan. Ketika melakukan pembayaran, pada dasarnya penumpang membayar bukan
hanya layanan angkutan yang telah diberikan oleh sopir mobil, melainkan juga jasa
mediasi angkutan yang dilakukan oleh Uber. Jasa mediasi inilah yang rupanya
menjadi argumentasi Uber untuk tidak mengikuti regulasi yang berlaku untuk
angkutan umum penumpang dalam bentuk taxi.
Kebijakan Persaingan
Jenis usaha Uber dari kacamata hukum yang berlaku di
Indonesia tampaknya masih memerlukan klarifikasi. Namun demikian, terlepas dari
itu Uber telah memasuki pasar yang selama ini secara normatif hanya mengenal
jasa angkutan umum yang disediakan dengan kendaraan umum. Dalam praktiknya, Uber
berpotensi menjadi pesaing untuk taxi konvensional, sementara keterikatannya
pada regulasi yang mengikat layanan taxi masih dipersoalkan.
Inovasi dan harga rendah merupakan dua poin yang sangat
penting untuk dipertimbangkan dalam pembentukan kebijakan persaingan yang
menekankan pada kesejahteraan konsumen. Pada sisi lain, persaingan yang sehat
tidak dapat mengabaikan diberikannya perlakuan yang sama, antara lain dari sisi
regulasi, untuk semua pelaku usaha yang melakukan kegiatan dalam pasar yang
sama. Tulisan ini meninggalkan sejumlah pertanyaan terbuka. Dapatkah Uber tetap
beroperasi dengan model bisnis yang sama jika ingin memenuhi semua ketentuan
yang berlaku untuk taxi konvensional? Rugikah konsumen jika Uber mengubah model
bisnisnya? Dapatkah Uber tetap mengenakan tarif yang sama seperti sekarang jika
harus memenuhi semua ketentuan yang berlaku bagi layanan taxi? Ataukah regulasi
perlu disesuaikan dengan perkembangan di dalam pasar untuk memberi ruang bagi
inovasi demi kepentingan konsumen? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikaji
dalam tulisan saya selanjutnya dalam seri tentang Uber. Sampai jumpa!
[1] Peraturan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum dan Peraturan Daerah Propinsi DKI No. 12 Tahun 2003 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Dana serta Penyeberangan
di Propinsi DKI.
[2] Pasal
179 UU No. 22 Tahun 2009.
[3] Pasal 139 ayat (4) UU
No. 22 Tahun 2009.
[4] Lihat
Pasal 152 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009.
[5] Pasal
67 UU No. 22 Tahun 2009.
[6] Pasal 183
ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009.
[7] Pasal 1 Angka 10 dan Pasal 151 UU No. 22 Tahun 2009.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.